Welcome Guys

Mesin Pengemas Plastik Continuous Sealer

Written By Bengkel Mesin Packing on Kamis, 26 Januari 2012 | 21.03



Mesin pengemas plastik continuous sealer untuk mengemas produk dalam kemasan plastik
21.03 | 0 komentar | Read More

Plastic Bag Continuous Sealing Machine BSL150

Ini seri sealer cocok untuk tas kecil pengepakan dan mengadopsi sistem kontrol suhu elektronik konstan dan kecepatan menyesuaikan mekanisme transmisi. Hal ini dapat menyegel plastik film dari berbagai bahan. Seperti PE, PP, Aluminium foil. Dan bisa diperbaiki sistem tanggal embossing
21.01 | 0 komentar | Read More

Mesin Filling Serbuk (Automatic)

20.50 | 0 komentar | Read More

MESIN PACKING SACHET 4 SEAL UNTUK CAIRAN DAN UNTUK POWDER

20.34 | 0 komentar | Read More

PENGEMASAN ASEPTIK

A. PENDAHULUAN

Pengemasan aseptis adalah suatu cara pengemasan bahan di dalam suatu wadah yang
memenuhi empat persyaratan, yaitu : produk harus steril, wadah pengemas harus steril, lingkungan
tempat pengisian produk ke dalam wadah harus steril, dan wadah pengepak yang digunakan harus
rapat untuk mencegah kontaminasi kembali selama penyimpanan.
Prinsip pengemasan aseptis adalah baik bahan pangan yang dikemas maupun bahan kemasan
harus bebas dari mikroorganisme perusak ketika bahan pangan tersebut dikemas, sehingga produk
pangan yang dikemas merupakan produk yang steril. Hal ini berarti kemasan harus bebas dari
mikroorganisme patogen dan toksin, dan mikroorganisme penyebab kerusakan tidak dapat
berkembang. Jika kondisi ini sudah diterapkan, maka bahan pangan akan aman untuk disimpan
pada suhu ruang dalam jangka waktu yang lebih lama.
Penggunaan pengemasan aseptik dimulai tahun 1917 dimana dikembangkan suatu paten
mengenai cara pengalengan aseptik. Pada tahun 1919 diperkenalkan produk-produk kemasan
aseptis dalam suatu pameran susu di London. Pada saat itu konsumen belum siap menerima produkproduk
seperti ini. Penggunaan kemasan aseptis baru mulai berkembang setelah Perang Dunia II
dan berkembang dengan pesat dalam tahun 1962, yaitu saat diperkenalkan mesin pengemasan
aseptis untuk bahan pengemas fleksibel.
Sistem pengemasan aseptis digunakan untuk mengemas berbagai macam produk seperti
bahan pangan dan obat-obatan. Dalam pengawetan bahan pangan, pengemasan aseptis banyak
digunakan untuk pengawetan minuman atau makanan berbentuk cair terutama susu dan sari buah
yang mengandung asam rendah.
 
B. PROSES ASEPTIS

Untuk keberhasilan proses aseptis bahan pangan, maka ada beberapa persyaratan yang diperlukan,
yaitu :
- Peralatan yang dapat disterilkan
- Produk steril secara komersial
- Kemasan yang steril secara komersial
- Ruang steril dalam mesin pengemas, tempat pengisian produk steril ke dalam kemasan
steril dan penutupan secara hermatis
- Ada monitoring dan pencatat faktor-faktor kritis
Dalam sistem pengemasan aseptis, produk dan wadah pengemas disterilisasi secara terpisah,
kemudian dilakukan pengisian produk ke dalam wadah dalam lingkungan steril sehingga diperoleh
produk steril dalam kemasan yang tahan disimpan dalam jangka waktu lama. Sterilisasi produk
dalam sistem aseptis dilakukan dengan sistem alir atau sistem UHT (Ultra High Temperature), yaitu
pemanasan dengan suhu yang sangat tinggi (135-150oC) selama 2-5 detik.
Pemanasan produk dengan sistem UHT dalam pengemas aseptis dapat dibagi menjadi 2 kategori
utama, yaitu:
1. Sistem pemanasan langsung, yaitu sistem dimana terjadi kontak langsung antara medium
pemanasan dam hal ini uap panas dengan produk yang dipanaskan. Dalam sistem pemanasan
langsung terdapat dua cara yaitu : 1) cara injeksi uap dimana uap panas disuntikkan ke dalam
produk, dan 2) cara infusi dimana produk diinfusikan ke dalam aliran uap panas (Gambar 9.
1a).
Pindah panas terutama disebabkan kondensasi uap mencapai sekitar 10 persen dari produk.
Sehingga untuk mempertahankan kadar padatan produk, perlu diuapkan dengan vakum. Pada
sistem injeksi uap, uap panas disemprotkan ke dalam aliran produk menggunakan injektor.
Suhu uap mencapai 140-146OC dengan waktu tinggal sekitar 4 detik. Suhu produk yang
disterilisasi mencapai 137-138 persen. Pada proses infusi produk, produk didispersikan ke
dalam ruang infusi yang berisi uap panas.
2. Sistem pemanasan tidak langsung, yaitu sistem dimana medium pemanas tidak kontak
langsung dengan produk. Panas ditransfer melalui permukaan (biasanya stainless steel). Pada
sistem pemanasan tidak langsung ada 3 (tiga) macam cara, yaitu : 1) heat exchanger tipe
konvensional yang berupa lempengan atau plate dan 2) tipe saluran atau tubular (Gambar 9.1b),
dan 3) Scraped-Surface Heat Exchanger.

a. Sistem Langsung
b. Sistem Tidak Langsung
a. Sterlisisasi UHT b. Sterilisasi dalam Wadah
Gambar 9.2. Hubungan antara suhu dengan waktu dalam a) sterilisasi UHT dan b)
Sterilisasi konensional di dalam wadah.

C. PROSES PENGEMASAN ASEPTIS

Dalam sistem pengemasan aseptis, sterlisasi yang dilakukan terhadap wadah lebih bervariasi
tergantung dari jenis wadahnya. Beberapa contoh cara sterilisasi terhadap berbagai wadah yang
digunakan dalam pengemasan aseptis dapat dilihat pada Tabel9. 1. Misalnya untuk wadah yang
terbuat dari metal digunakan uap panas atau udara panas. Untuk wadah yang terbuat dari plastik
dapat digunakan etilen oksida, hidrogen peroksida atau dengan cara radiasi. Wadah gelas dapat
digunakan etilen oksida.
Masing-masing cara sterilisasi tersebut mempunyai keuntungan dan kelemahan. Sterilisasi
dengan uap panas dan udara panas akan menghasilkan suhu tinggi pada tekanan atmosfir, tetapi
mempunyai kelemahan karena mikroorganisme lebih tahan di dalam uap/udara panas daripada di
dalam uap jenuh. Sterilisasi wadah menggunakan hidrogen peroksida mempunyai keuntungan
karena prosesnya cepat dan efisien, sedangkan radiasi dapat digunakan untuk sterilisasi wadah yang
terbuat dari plastik yang sensitif terhadap panas, tetapi mempunyai kelemahan karena biayanya
yang mahal dan lokasinya terbatas.
Tabel 9.1. Berbagai cara sterilisasi wadah pengemas
Cara Sterilisasi Aplikasi
Udara panas Wadah metal
Udara panas (kering) Wadah metal/komposit
H2O2 panas Wadah plastik, foil berlaminasi
Kombinasi H2O2/sinar ultra
violet
Wadah plastik (karton/kemas bentuk)
Etilen Oksida Wadah gelas dan plastik
Panas dari proses koekstruksi Wadah Plastik
Radiasi Wadah plastik yang sensitif terhadap
panas
Sumber : Ito and Stevenson (1984).
Proses sterilisasi kemasan dengan menggabungkan antara peroksida dan sinar ultraviolet
sudah diterapkan oleh perusahaan kemasan lamintaing seperti Tetra Pakâ. Dalam hal ini sterilisasi
dilakukan dalam dua tahap, yaitu :
- Tahap pertama, bahan kemasan berupa kotak karton berlaminasi (terdiri dari kotak karton
yang diberi plastik tipis dan dilapisi dengan alumunium foil), dilewatkan pada bak berisi
hidrogen peroksida, dimana derajat sterilisasi tetrgantung pada waktu dan suhu yang
digunakan. Misalnya waktu sterilisasi 6.5 detik dengan konsentrasi H2O2 30% dan suhu 65oC,
atau selama 5 detik pada suhu 76oC
- Tahap kedua, bahan kemasan dikeringkan dengan udara panas untuk menghilangkan sisa
H2O2.
Sinergisme antara larutan H2O2 dengan sinar ultraviolet sudah lama diterapkan untuk pengawetan
bahan pangan yang bertujuan untuk memperpanjang umur simpan (extended shelf life=ESL), tapi
produk ESL ini masih membutuhkan penyimpanan pada suhu rendah (refrigerasi). Produk ESL
yang dikemas membutuhkan standard higenis tapi tidak seketat standard yang ditetapkan dlaam
kemasan aseptis.
Pada proses aseptis yang tradisional, peroksida diaplikasikan ke bahan kemasan dengan cara
menyemprot atau mengkondensasikan gas H2O2 pada permukaan bahan kemasan. Konsentrasi
peroksida yang digunakan biasanya sekitar 2% dengan waktu 2-4 detik. Bahan kemasan yang masih
basah dan mengandung H2O2 kemudian diberi sinar UV, kemudian kemasan dikeringkan dengan
udara panas untuk menghilangkan sisa H2O2.
Saat ini kombinasi antara peroksida dan UV telah dikembangkan oleh Tetra Pakâ, dimana
sinar UV diberikan setelah kemasan dikeringkan dengan udara panas. Sinar UV lebih efektif untuk
membunuh mikroorgansime patogen dalam keadaan kering daripada dalam keadaan basah.
Dalam pengemasan aseptik, ada beberapa metode pengemeasan yang dapat diterapkan yaitu :
1. Film and Seal
2. Form, Fill and Seal
3. Erect, Fill and Seal
4. Thermoform, Fill and Seal
5. Blow mold, Fill and Seal
Dalam pengemasan aseptik menggunakan karton diterapkan sistim Form Fill-Seal vertikal. Kertas
karton dalam gulungan, melalui roler untuk menghilangkan kisut, diberi tanggal, dilaminasi plastik
pada satu sisinya, dibentuk silinder yang menyelubungi pipa pemasukan produk, bagian bawah
diseal, diisi produk, kemudian bagian atas diseal bersamaan dengan seal bagian bawah karton di
atasnya. Selanjutnya dipotong dan dibentuk.

D. RANGKAIAN PROSES PENGEMASAN ASEPTIK

Bahan kemasan dalam bentuk gulungan melalui beberapa rol dan penjepit untuk persiapan
pembentukan kemasan. Pada bagian atas mesin pengemas, bahan kemasan dilewatkan dalam bak
berisi larutan hidrogen peroksida 35 persen untuk sterilisasi kemasan. Pada proses ini sebagian
bakteri tercuci dan sebagian lagi terbunuh.
Hidrogen peroksida yang berlebihan akan terperas ketika bahan kemasan melewati sepasang
rol penekan dan yang masih tertinggal diuapkan dengan udara panas yang dialirkan dari mantel
pipa produk. Karton berbentuk tube melewati zona pemanas sehingga suhu karton mencapai 120OC.
Selain efek pencelupan dalam hidrogen peroksida, sterilisasi dapat terjadi karena pemanasan dari
elemen pemanas dan peningkatan konsentrasi H2O2 akibat pemanasan. Tepat di bawah ujung pipa
pengeluaran produk, kelim melintang bagian bawah dibuat. Kemudian produk diisikan dan diikuti
penutupan bagian atas karton bersama dengan keliman bagian bawah karton yang berikutnya.
Pada waktu turun dari rol atas mesin pengemas, bahan kemasan mulai dibentuk. Begitu turun
melewati pipa pemasukan produk. Satu sisi karton dipanaskan dengan udara panas steril, lalu
direkatkan dengan sisi lainnya dengan ring pembentuk sehingga karton berbentuk silinder. Strip
plastik yang dipasang pada salah satu sisi karton akan berfungsi sebagai perekat, pelindung udara
dan mencegah terjadinya kontak produk dengan tepi karton.
Setelah penutupan, karton berisi kemasan digunting hingga terpisah dari tube karton yang
berada di atasnya dan selanjutnya dibentuk sampai bentuk akhir, yang cukup rapat untuk
melindungi produk dari mikroorganisme. Selanjutnya produk dipak dan siap dipasarkan.
 
E. PENGUJIAN KEMASAN ASEPTIK

Pengujian keutuhan kemasan dalam sistim aseptik merupakan hal yang kritis. Hal ini karena
berhubungan dengan keamanan dan kualitas produk. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan uji yang
bersifat non destruktif. Beberapa test yang sering digunakan ialah:
1. Test elektrolit, digunakan untuk mengetahui kerusakan yang berhubungan dengan kebocoran
kemasan, test ini menggunakan larutan elektrolit, bila terjadi kebocoran maka akan terjadi arus
listrik.
2. Test tekanan, digunakan untuk mendeteksi kebocoran dari kemasan, dalam test ini, gas
diinjeksikan ke dalam kemasan yang telah dicelup dalam air. Injeksi gas dilakukan dengan pompa.
Bila terjadi kebocoran maka terjadi gelembung dalam air.
3. Test mikrobiologi, digunakan untuk mendeteksi adanya kontaminasi dari mikroba dalam
kemasan. Test ini juga digunakan untuk menguji efektifitas sterilan yang digunakan.
 
F. EFEKTIVITAS STERILISASI

Untuk mengetahui efektivitas sterlisasi dalam sistem pengemasan asepik dapat dilakukan
pengujian yang dapat dibedakan atas 3 (tiga0 macam, yaitu : 1) pengujian efektivitas proses sterilisasi
produk, 2) pengujian efektivitas proses sterilisasi wadah pengemas dan 3) pengeujian efektivitas
sterilisasi prose/lingkungan pengisian produk ke dalam wadah dan proses penutupan. Dengan
melakukan pengujian efektivitas sterilisasi dapat diketahui apakah proses sterilisasi yang dilakukan
secara terpisah baik terhadap produk, wadah maupun ruang pengolahan sudah memenuhi
persyaratan.
Untuk menguji efektivitas sterilisasi biasanya digunakan spora bakteri tahan panas karena
hanya spora tersebut yang mungkin tahan terhadap perlakuan pemanasan pada suhu tinggi. Spora
bakteri yang tahan panas masih dapat hidup dengan pemanasan pada suhu 100oC selama 10 menit.
Spora bakteri yang tidak tahan panas akan mati pada suhu tersebut, bahkan sel vegetatif bakteri,
kapang dan khamir akan mati pada suhu 80oC selama 10 menit.
Bakteri mempunyai ketahanan panas yang berbeda-beda terhadap masing-masing cara
sterilisasi, maka sebagai penguji juga digunakan spora bakteri yang berbeda tergantung dari cara
sterilisasi yang digunakan (Tabel 2). Spora bakteri tahan panas yang paling banyak digunakan dalam
pengujian efektivitas sterilisasi adalah Bacillus stearothermophillus dan Bacillus subtilis.
Tabel 9.2. Spora bakteri yang digunakan dalam pengujian efektivitas sterilisasi
Cara Sterilisasi Spora bakteri penguji
Uap panas Bacillus stearothermophillus 1517
B.polymyxa
Udara panas B.stearothermophillus 1515
B.subtilis
H2O2 + panas
atau + lain-lain
B.subtilis A
B.subtilis (globigii)
Radiasi B.subtilis
Sumber : Ito dan Steenson (1984)
Pengujian efektivitas sterilisasi terhadap produk dilakukan dengan cara menginokulasikan
produk dengan sejumlah spora bakteri, kemudian dilakukan sterilisasi seperti yang sebenarnya
diterapkan dalam proses. Proses selanjutnya yaitu pengisian ke dalam wadah steril dan penutupan
secara aseptik juga dilakukan seperti dalam proses. Kemudian produk dalam kemasan tersebut
diinkubasi untuk melihat pertumbuhan bakteri yang diuji. Bagan proses pengujian efektivitas
produk dapat dilihat pada Gambar 9.3.
Jumlah bakteri yang masih hidup setelah perlakuan sterilisasi dapat dihitung dengan
menggunakan metode MPN (most probable number), yaitu dengan cara mengencerkan sampel hingga
beberapa tingkat pengenceran untuk memperoleh jumlah bakteri yang sedikit (agar mempermudah
perhitungan). Masing-masing tingkat pengenceran ini diinokulasikan ke dalam satu seri tabung yang
terdirid ari 5 tabung yang berisi medium yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri. Dengan
mengetahui jumlah tabung yang posiif (menunjukkan pertumbuhan) pada setiap pengenceran, dan
mencocokkannya pada Tabel MPN, dapat dihitung jumlah bakteri di dalam contoh yang telah
dipanaskan.
Cara lain untuk menghitung jumlah bakteri adalah dengan metode pemupukan cawan (Total
Plate Count/TPC) menggunakan medium yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri. Jumlah bakteri
dihitung dengan menghitung jumlah koloni yang tumbuh pada pengenceran tertentu.
Pengujian sterilisasi terhadap sistem sterilisasi dalam pengisian dan penutupan secara aseptik
dilakukan untuk mengetahui apakah kontaminasi berasal dari sistem pengisian dan penutupan yang
tidak tepat. Dalam hal ini pengujian dilakukan dengan cara melekatkan kepingan
aluminium berperekat yang telah diinokulasikan dengan sejumlah spora bakteri pada sistem
pengisian aseptik (aseptic filler). Kemudian siklus pengisian dan penutupan kaleng dilakukan seperti
yang diterapkan dalam proses. Setelah proses selesai kepingan aluminium tersebut dimasukkan ke
dalam medium pertumbuhan dan diinkubasi untuk melihat adanya pertumbuhan.
Dengan mengetahui jumlah spora awal dan jumlah spora setelah mengalami proses sterilisasi
dapat diketahui nilai efektivitas sterilisasi dengan rumus sebagai berikut :
Jumlah spora awal
Efektivitas sterilisasi = log
Jumlah spora setelah sterilisasi
Misalnya jika jumlah spora sebelum sterilisasi adalah 1010, kemudian setelah sterilisasi tinggal
10 spora yang masih hidup, maka efektivitas sterilisasi dari proses tersebut adalah log 1010/10 atau
sama dengan 9. Dalam sistem UHT, proses pemanasan yang diterapkan seharusnya mempunyai
efektivitas sterilisasi 12 jika digunakan B.subtilis sebagai bakteri penguji, atau 8 jika digunakan spora
bakteri yang sangat tahan panas yaitu B.stearothermophillus.
Dengan mengethaui efektivitas sterilisasi yang diterapkan dalam suatu proses dan jumlah
kontaminasi mikroorganisme sebelum proses, maka dapat dihitung kemungkinan terjadinya
kerusakan, misalnya dapat diketahui jumlah wadah yang mungkin rusak di antara sekian ribu atau
juta wadah yang steril.

Dikutip dari :
1. Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia, 1990. Risalah Seminar Pengemasan dan
Transportasi dalam Menunjang Pengembangan Industri, Distribusi dalam Negeri dan Ekspor
Pangan
. S.Fardiaz dan D.Fardiaz (ed). Jakarta.
2. Syarief, R., S.Santausa, St.Ismayana B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium
Rekayasa Proses Pangan
, PAU Pangan dan Gizi, IPB.
09.24 | 2 komentar | Read More

KEMASAN EDIBLE

Dalam 20 tahun terkahir, bahan kemasan yang berasal dari polimer petrokimia atau yang lebih
dikenal dengan plastik, merupakan bahan kemasan yang paling banyak digunakan. Hal ini
disebabkan karena berbagai keunggulan plastik seperti fleksibel, mudah dibentuk, transparan, tidak
mudah pecah dan harganya yang relatif murah. Namun ternyata, polimer plastik juga mempunyai
berbagai kelemahan, yaitu sifatnya yang tidak tahan panas, mudah robek dan yang paling penting
adalah dapat menyebabkan kontaminasi melalui transmisi monomernya ke bahan yang dikemas.
Kelemahan lain dari plastik adalah sifatnya yang tidak dapat dihancurkan secara alami (non -
biodegradable), sehingga menyebabkan beban bagi lingkungan khususnya pada negara-negara yang
tidak melakukan daur ulang (recycling). Sampah plastik bekas pakai tidak akan hancur meskipun
telah ditimbun berpuluh-puluh tahun, akibatnya penumpukan sampah plastik dapat menyebabkan
pencemaran dan kerusakan bagi lingkungan hidup.
Seiring dengan kesadaran manusia akan masalah ini, maka dikembangkanlah jenis kemasan dari
bahan organik, dan berasal dari bahan-bahan terbarukan (renewable) dan ekonomis. Salah satu jenis
kemasan yang bersifat ramah lingkungan adalah kemasan edible (edible packaging). Keuntungan dari
edible packaging adalah dapat melindungi produk pangan, penampakan asli produk dapat
dipertahankan dan dapat langsung dimakan serta aman bagi lungkungan (Kinzel, 1992).

A. PENGERTIAN

Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang berfungsi sebagai
pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film). Edible coating banyak digunakan
untuk pelapis produk daging beku, makanan semi basah (intermediate moisture foods), produk
konfeksionari, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan obata-obatan terutama untuk
pelapis kapsul (Krochta et al., 1994).
Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas
komponen makanan yang berfungsi sebagai penghambat transfer massa (misalnya kelembaban,
oksigen, lemak dan zat terlarut) dan atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif dan atau untuk
meningkatkan penanganan makanan (Krochta, 1992).
Edible film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan film kemasan seperti plastik, yaitu
harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat mencegah kehilangan kelembaban produk,
memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut
untuk mempertahankan warna, pigmen alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti
pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan.
Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti sosis, buah-buahan
dan sayuran segar dapat memperlamba penurunan mutu, karena edible film dapat berfungsi sebagai
penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan uap air serta komponen flavor, sehingga mampu
menciptakan kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas.
Keuntungan penggunaan edible film untuk kemasan bahan pangan adalah untuk memperpanjang
umur simpan produk serta tidak mencemari lingkungan karena edibel film ini dapat dimakan
bersama produk yang dikemasnya.
Selain edible film istilah lain untuk kemasan yang berasal dari bahan hasil pertanian adalah
biopolimer, yaitu polimer dari hasil pertanian yang digunakan sebagai bahan baku film kemasan
tanpa dicampur dengan polimer sintetis (plastik). Bahan polimer diperoleh secara murni dari hasil
pertanian dalam bentuk tepung, pati atau isolat. Komponen polimer hasil pertanian adalah
polipeptida (protein), polisakarida (karbohidrat) dan lipida. Ketiganya mempunyai sifat
termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak sebagai film kemasan.
Keunggulan polimer hasil pertanian adalah bahannya yang berasal dari sumber yang terbarukan
(renewable) dan dapat dihancurkan secara alami (biodegradable).

B. BAHAN-BAHAN PEMBUATAN EDIBLE FILM

Komponen penyusun edible film mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun
karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama penyusun edible film dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. Bahan-bahan tambahan yang sering dijumlapi
dalam pembuatan edible film adalah antimikroba, antioksidan, flavor dan pewarna.
Komponen yang cukup besar dalam pembuatan edible film adalah plastisizer, yang berfungsi
untuk :
- meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas film
- menghindari film dari keretakan
- meningkatkan permeabilias terhadap gas, uap air dan zat terlarut
- meningkatkan elastisitas film
1. Hidrokolid
Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film berupa protein atau polisakarida.
Bahan dasar protein dapat berasal dari jagung, kedele, wheat gluten, kasein, kolagen , gelatin, corn
zein, protein susu dan protein ikan.
Polisakarida yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah selulosa dan turunannya,
pati dan turunannya, pektin, ekstrak ganggang laut (alginat, karagenan, agar), gum (gum arab dan
gun karaya), xanthan, kitosan dan lain-lain. Beberapa polimer polisakarida yang banyak diteliti akhirakhir
ini adalah pati gandum (wheat), jagung (corn starch) dan kentang.
2. Lemak
Lemak yang umum digunakan dalam pembuatan edible film adalah lilin alami (beeswax,
carnauba wax, parrafin wax), asil gliserol, asam lemak (asam oleat dan asam laurat) serta emulsifier.
3. Komposit
Komposit adalah bahan yang didasarkan pada campuran hidrokoloid dan lipida.
4. Plastisizer
Plastisizer adalah bahan organik dengan berat molekul rendah yang ditambahkan dengan
maksud untuk memperlemah kekakuan dari polimer (Ward and Hadley, 1993), sekaligus
meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas polimer (Ferry, 1980).
Mekanisme proses plastisisasi polimer sebagai akibat penambahan plastisizer berdasarkan
Sears and Darby, 1982 di dalam : Di Gioia and Guilbert, 1999) melalui urutan sebagai berikut :
1. pembasahan dan adsorpsi
2. pemecahan dan atau penetrasi pada permukaan
3. absorpsi, difusi
4. pemutusan pada bagian amorf
5. pemotongan struktur
Beberapa jenis plastisizer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible film adalah gliserol,
lilin lebah, polivinil alkohol dan sorbitol. Jenis-jenis plastisizer yang penting lainnya dan dapat
digunakan dalam edible film adalah :
a. Asam Laurat (CH3(CH2)10COOH)
Asam laurat merupakan asam lemak jenuh yang mempunyai jumlah atom C 12 dengan berat
molekul 200. Berwarna putih, berbentuk tepung kristal, sedikit berbau khas lemak dan sangat tidak
larut dalam air. Titik didihnya 44.2oC, dan berasal dari minyak sawit, minyak kelapa atau susu.
b. Asam Oktanoat (CH3(CH2)6COOH)
Asam oktanoat berbentuk cairan berminyak, sedikit memberi rasa tengik, sedikit larut dalam
air, larut dalam alkohol, kloroform, eter, karbon disulfit, petroleum eter dan asam asetat glasial serta
digunakan pada industri pewarna, atau sebagai bahan intermediate pada pembuatan ester yang
digunakan dalam industri parfum.
c. Asam Laktat
Asam laktat dengan BM 90, secara teknis dibuat melalui fermentasi asam laktat dengan bahan
dasar karbohidrat seperti glukosa, sukrosa dan laktosa dengan bantuan Bacillus acidilacti aau
Lactobacillus delbrueckii, L.bulgaricus dan lain-lain. Secara komersial asam laktat diproduksi melalui
fermentasi whey, pati jagung, kentang dan molase.
Asam laktat larut dalam air, alkohol, furfural, sedikit larut dalam eter dan tidak larut dalam
kloroform, petroleum eter dan karbon disulfit serta digunakan sebagai pelarut pada pewarna yang
tidak larut air, industri keju, confectionary, beverages, produk pangan, obat-obatan dan lain-lain.
d. Trietilen Glikol (CH2CH2OCH2OH)2)
TEG mempunyai berat molekul 50, dan dibuat dari etilen oksid dan etilen glikol dengan
penambahan asam sulforat. Secara industri dibuat melalui pembentukan ester-ester dari
HOCH2COOH dengan glikol, kemudian dilakukan hidrogenasi. TEG tidak berwarna, tidak berbau,
dan higroskopis, dapat bercampur dengan air, alkohol, benzene, toluena, namun sebagian tidak larut
dalam eter dan sama sekali tidak larut dalam petroleum eter. LD50 pada tikus 15-22 g/kg melalui
oral. Penggunaannya pada plastik dapat meningaktkan kelenturan (pliability).
e. Polietilen Glikol (H(OCH2CH2)nOH)
PEG mempunyai berat molekul rata-rata 400 (380-420), bersifat kental, cairan yang agak
higroskopis dan sedikit mempunyai bau khas. Kelarutannya sama dengan TEG. PEG digunakan
pada industri pangan dan kemasan pangan.

C. PEMBUATAN EDIBLE FILM

Proses pembuatan edible film dimulai dari pelarutan bahan dasar berupa hidrokoloid, lipid
atau komposit , kemudian dilakukan penambahan plastisizer. Campuran dipanaskan pada suhu 55-
70oC selama 15 menit. Film dicetak (casting) dengan cara menuanglan adonan pada permukaan
lembar polietilen yang licin menggunakan auto-casting machine. Selanjutnya dibiarkan beberapa jam
pada suhu 35oC dengan RH ruangan 50%. Film yang dihasilkan kemudian dikeringkan selama 12-18
jam pada suhu 30oC RH 50% dan dilanjutkan dengan penyimpanan (conditioning) dalam ruang
selama 24 jam menggunakan suhu dan RH ambien. Contoh pembuatan edible film dari zein jagung
dapat dilihat pada Gambar 8.2.
Bentuk lain dari edible packaging adalah edible coating, yaitu pelapisan bahan pangan dengan
bahan pelapis yang dapat dimakan. Bahan-bahan baku untuk pembuatan edible coating sama dengan
edible film, hanya saja dalam pembuatan edible coating tidak ada penambahan plastisizer, sehingga
pelapis yang dihasilkan tidak berbentuk film. Contoh prosedur standar pembuatan edible coating
dengan bahan dasar isolat protein kedele (ISP) dapat dilihat pada Gambar 8.3.
Cara-cara pelapisan untuk edible coating adalah pencelupan, penyemprotan atau penuangan.
Metode pencelupan dilakukan dengan cara mencelupkan bahan makanan ke dalam edible coating.
Untuk mendapatkan permukaan yang rata, dibutuhkan suau mantel. Setelah pencelupan, kelebihan
mantel dialirkan ke produk dan kemudian dikeringkan agar diperoleh teksur yang keras.
Metode penyemprotan dilakukan dengan cara menyemprokan edible coating pada bahan pangan pada
satu sisinya, sehingga hasilnya lebih seragam dan praktis dibandingkan cara pencelupan. Metode
penuangan dilakukan dengan cara menuang edible coating ke bahan yang akan dilapis. Teknik ini
menghasilkan bahan yang lembut dan permukaan yang datar, tetapi ketebalannya harus
diperhatikan karena berpengaruh terhadap permukaan bahan.

Gambar 8.1. Diagram alir pembuatan film dari zein jagung (Paramawati, 2001)

D. SIFAT-SIFAT FISIK DAN MEKANIS EDIBLE FILM

Karakteristik mekanis suatu bahan umumnya mengikuti garfik strain-stress seperti Gambar
8.1. Hukum Hooke tentang modulus elastisitas (E=s/e), diterapkan pada daerah linier elastis.
Ketika muatan tekanan berlebihan, benda akan kembali ke keadaan aslinya, bila benda diregangkan
hingga mendekati batas elastis, hanya sebagian yang akan kembali ke keadaan aslinya dan menjadi
bentuk permanen.
Secara umum parameter penting karakteristik mekanik yang diukur dan diamati dari sebuah
film kemasan termasuk edible film adalah kuat tarik (tensile strength), kuat tusuk (puncture srength),
persen pemanjangan (elongation to break) dan elastisitas (elastic modulus/young modulus). Parameterparameter
tersebut dapat menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang
berkaitan dengan struktur kimianya. Karakteristik mekanik menunjukkan inikasi integrasi film pada
kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses pembentukan film tersebut.
Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh sebuah film. Parameter ini
menggambarkan gaya maksimum yang terjadi pada film selama pengukuran berlangsung. Hasil
pengukuran ini berhubungan erat dengan jumlah plastisizer yang ditambahkan pada proses
pembuatan film. Penambahan plastisizer lebih dari jumlah tertentu akan menghasilkan film dengan
kuat tarik yang lebih rendah (Lai et al., 1997). Kuat tusuk menggambarkan tusukan (gaya tekan)
maksimum yang dapat ditahan oleh sebuah film. pH dan suhu yang tinggi dalam pembuatan film,
akan menghasilkan film dengan kuat tusuk yang rendah (Yildirim and Hettiarachchy, 1998). Film
dengan struktur yang kaku (rigid) akan menghasilkan film yang ahan terhadap kuat tusuk (Banerjee
et al., 1996).
Proses pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum pada saat terjadi peregangan
hingga sampel film terputus. Pada umumnya keberadaan plastisizer dalam proporsi lebih besar akan
membuat nilai persen pemanjangan suatu film meningkat lebih besar.
Modulus elatis merupakan kebalikan dari persen pemanjangan, karena akan semakin
menurun seiring meningkatnya jumlah plasisizer dalam film. Modulus elastisitas menurun berarti
fleksibilitas film meningkat, Modulus elastisitas merupakan ukuran dasar dari kekakuan (stiffness)
sebuah film.
Nilai permeabilitas suatu jenis film perlu diketahui, karena dapat dipergunakan untuk
memperkirakan daya simpan produk yang dikemas di dalamnya. Nilai permeabilitas juga dapat
dipergunakan untuk menentukan produk atau bahan pangan apa yang sesuai untuk kemasan
tersebut. Nilai permeabilitas mencakup : permeabilitas terhadap uap air dan permeabilitats terhadap
gas.
Sifat-sifat fisik yang digunakan sebagai parameter mutu edible film adalah ketebalan film,
warna, suhu transisi gelas dan aw.
Edible film yang terbuat dari hidrokoloid memiliki beberapa kelebihan, yaitu baik untuk
melindungi produk terhadap oksigen maupun CO2 dan lipid, serta memiliki sifat mekanis yang
diinginkan, selain itu meningkatkan kesatuan struktural produk, sedangkan kekurangannya yaitu
bungkus dari karbohidrat kurang bagus untuk mengatur migrasi uap air dan bungkus dari protein
biasanya dipengaruhi oleh perubahan pH.
Kelebihan edible film dari lipid adalah dapat melindungi produk konfeksionary yang tidak
boleh menyerap air selama penyimpanannya, sedangkan kekurangannya adalah penggunaannya
dalam bentuk murni terbatas karena kurangnya integritas dan ketahanannya.
Sifat-sifat dari edible film dibandingkan dengan film kemasan sinteis dapat dilihat pada Tabel
8.1.
Tabel 8.1. Sifat-sifat edible film dibandingkan dengan film sintesis
Tipe film Ketebalan (mm) Kondisi (oC, RH%) Permeabilitas (g/
mm/m2/hari)
Kolagen - 23, 0 1.2
Kolagen - 23, 63 23.3
Kolagen - 23, 93 890
Zein : Gliserin 0.10-0.31 30, 0 13.0-44.9
Gluen : Gliserin 0.23-0.42 30, 0 9.6-24.2
AM:Gluten:Gliserin 0.066 23, 0 2.67
ISP:Gliserin 0.064-0.089 25, 0 4.75
Protein susu:sorbitol 0.118 23, 30 1.03
Protein susu:sorbitol 0.118 23, 75 144.92
MC:PEG - 30, 0 149-226
HPC:PEG - 30, 0 910
M:BW/MC:PEG - 25, 0 960
S:BW/MC:PEG - 25, 0 319
Pati - 24, - 13130
Amilosa Jagung - 25, - 1480
Gliadin dan Gliserol 0.01 - 1.03
Gluten dan lilin lebah 0.09 - 0.005
Gluten dan Gliserol 0.011 - 0.18
Gluten dan Gliserol 0.05 - 1.05
Pektin 0.036 - 8.2
Pati 0.790 - 4.86
Pati :Selulosa Asetat 1.19 - 29.3
LDPE 0.04-0.07 23, 50 1870
Selulosa 0.10 23, 50 16
Selulosa 0.05 23, 95 252
EVOH 0.05 23, 0 0.1
Poliester 0.054 23, 0 17.3
MC = metilselulosa, PEG = polietilen glikol, ISP = isolat protein kedele, HPC=hydroxypropyl cellulose, BW = beeswax
(lilin lebah) , M=molten dari lilin lebah, S = lilin lebah yang diberi pelarut, LDPE = polietilen densitas rendah. EVOH –
etilene inil alkohol
Sumber : Fellows, 2000.

E. APLIKASI EDIBLE FILM PADA BAHAN PANGAN

Penggunaan edible film sebenarnya sudah lama dilakukan, terutama pada sosis, yang pada
zaman dahulu menggunakan usus hewan. Selain itu pelapisan buah-buahan dan sayuran dengan
lilin juga sudah dilakukan sejak tahun 1800-an.
Aplikasi dari edible film untuk kemasan bahan pangan saat ini sudah semakin meningkat, seiring
kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Edible film dan biodegradable film
banyak digunakan untuk pengemasan produk buah-buahan segar yaitu untuk mengendalikan laju
respirasi, akan tetapi produk-produk pangan lainnya juga sudah banyak menggunakan edible coating,
seperti produk konfeksionari, daging dan ayam beku, sosis, produk hasil laut dan pangan semi basah.
Aplikasi dari edible film atau edible coating dapat dikelompokkan atas :
1. Sebagai Kemasan Primer dari produk pangan
Contoh dari penggunaan edible film sebagai kemasan primer adalah pada permen, sayursayuran
dan buah-buahan segar, sosis, daging dan produk hasil laut.
2. Sebagai Barrier
Penggunaan edible film sebagai barrier dapat dilihat dari contoh-contoh berikut :
- Gellan gum yang direaksikan dengan garam mono atai bivalen yang membentuk film,
diperdagangkan dengan nama dagang Kelcogeâ merupakan barrier yang baik untuk absorbsi
minyak pada bahan pangan yang digoreng, sehingga menghasilkan bahan dengan kandungan
minyak yang rendah. Di Jepang bahan ini digunakan untuk menggoreng tempura.
- Edible coating yang terbuat dari zein (protein jagung), dengan nama dagang Z’coat TM
(Cozean) dari Zumbro Inc., Hayfielf, MN terdiri dari zein, minyak sayuran, BHA, BHT dan etil
alkohol, digunakan untuk produk-produk konfeksionari seperti permen dan coklat .
- Fry Shiled yang dipatenkan oleh Kerry Ingradientt, Beloit, WI dan Hercules, Wilmington,
DE, terdiri dari pektin, remah-remahan roti dan kalsium, digunakan untuk mengurangi lemak
pada saat penggorengan, seperti pada penggorengan french fries.
- Film Zein dapat bersifat sebagai barrier untuk uap air dan gas pada kacang-kacangan atau
buah-buahan. Diaplikasikan pada kismis untuk sereal sarapan siap santap (ready to eat- breakfast
cereal)
2. Sebagai Pengikat (Binding)
Edible film juga dapat diaplikasikan pada snack atau crackers yang diberi bumbu, yaitu sebagai
pengikat atau adhesif dari bumbu yang diberikan agar dapat lebih melekat pada produk. Pelapisan
ini berguna untuk mengurangi lemak pada bahan yang digoreng dengan penambahan bumbubumbu.
3. Pelapis (Glaze)
Edible film dapat bersifat sebagai pelapis untuk meningkatkan penampilan dari produk-produk
bakery, yaitu untuk menggantikan pelapisan dengan telur. Keuntungan dari pelapisan dengan edible
film, adalah dapat menghindari masuknya mikroba yang dapat terjadi jika dilapisi dengan telur.

Dikutip dari :
1. Banerjee, R., H.Chen and J.Wu, 1996. Milk protein-based edible film mechanical strength
changes due to ultrasound process. J.Food Sci. 61(4) : 824-828.
2. Druchta. M. and D.J.Catherine. 1997. An up date on edible films. Lifeline Spring 15 (2) : 1-
3. http://www.csaceliacs.org/library/ediblefilms.php
3. Ferry,J.D. 1980. Concentrated solutions, plastticized polymers, and gels. In Viscoelastic
Properties of Plymers, 3rd ed, Wiley, New York, pp.486-598.
4. Guilbert, S. 2001. A survey on protein absed materials for food, agricultural and
biotechnological uses. In Active bioplymer films and coating for food and biotechnological
uses. Park,H.J., R.F.Testin, M.S.Chinnan and J.W.Park (Ed). Materials of Pre-Congress Short
Course of IUFoST, Korea University-Seoul, Korea.
5. Kinzel, B., 1992. Protein-rich edible coatings for foods. Agricultural research. May 1992 :
20-21
6. Krochta,J.M. 1992. Control of mass transfer in food with edible coatings and film. In :
Singh,R.P. and M.A.Wirakartakusumah (Eds) : Advances in Food Engineering. CRC Press :
Boca Raton, F.L. pp. 517-538.
7. Krochta,J.M., Baldwin,E.A. dan M.O.Nisperos-Carriedo. 1994. Edible coatings and film to
improve food quality. Echnomic Publ.Co., Inc., USA.
8. Lai,H.M., G.W.Padua and L.S.Wei. 1997. Properties and microsrucure of zein sheets
plastisized with palmitic and stearic acids. Cereal Chem. 74(1): 83-90.
9. Paramawati, R. 2001. Kajian fisik dan mekanik terhadap karakteristik film kemasan
organik dari zein jagung. Disertasi Program, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
10. Sears,J.K. and J.R.Darby, 1982. Mechanism of plastisizer action. In : Di Gioia, L. and S.
Guilbert. 1999. Corn protein-based thermoplastic resins : Effect of some polar and
amphiphilic plastisizers. J.Agric.Food.Chem. 47: 1254-1261.
11. Ward, I.M. and D.W. Hadley. 1993. An introduction on the mechanical properties of solid
polymers, Wiley, New York.
09.18 | 1 komentar | Read More